Filsafat Idealisme dan Realisme
A.
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Masalah
FILSAFAT dan filosof berasal dari kata Yunani
“philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos adalah
seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah
cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup.
Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena,
filsafat yang merupakan pandangan hidup iku menentukan arah dan tujuan proses
pendidikan.
Oleh karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai
hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan
proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan
sebelumnya.
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat
pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang mempelajari dan
berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang
bersifat filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal
pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab
dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang
terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta
pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam
masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi
dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang
menentukan bentuksikaphidupnya.
http://www.mail-archive.com/mayapadaprana@yahoogroups.com(1/1/09)
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau
beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan
suatu masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang
dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor lain
seperti latar belakangpribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan
alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para
peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga
menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut
aliran filsafat. Aliran-aliran utama filsafat adalah sebagai berikut :
Aliran Materialisme,yang mengajarkan bahwa hakikat
realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia, ialah
materi,
Aliran Idealisme/Spritualisme, yang mengajarkan bahwa
ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia dan Aliran
Realisme, yang menggambarkan bahwa ajaran materialis dan idealisme yang
bertentangn itu, tidak sesuai dengan kanyataan. Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan
bukanlah benda ( materi ) semata – mata. Realitas adalah perpaduan
benda materi dan jasmaniah dengan yang nonmateri ( spiritual, jiwa,
dan rohani ).Makalah ini akan membahas masalah ide dan realitas yang
merupakan bagian dari aliran-aliran filsafat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Administrasi Pendidikan.
2.
Masalah
Apa
itu ide dan Realitas, mengapa dipelajari .
3.
Sitematika uraian :
a.
Pengertian Idealisme, materialisme dan realisme.
b.
Pembahasan ketiga aliran filsafat tersebut.
c.
Pentingnya mempelajari ketiga aliran filsat itu.
B. ISI PEMBAHASAN
1.
Pengertian Idealisme, materialisme dan realisme.
Aliran
Idealisme/Spritualisme, yang mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang
menentukan hidup dan pengertian manusia. Idealisme: adalah aliran filsafat yg
menekankan idea" (dunia
roh) sebagai objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala sesuatu yg dilakukan
oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dgn hal2 yg bersifat lahiriah,
tetapi harus berdasarkan prinsip kehorhanian (idea). Oleh sebab itu, Idealiseme
sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan.
1.
Aliran Materialisme,yang mengajarkan bahwa hakikat
realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia, ialah materi.
3. Aliran Realisme, yang menggambarkan bahwa ajaran materialis dan idealisme
yang bertentangn itu, tidak sesuai debngan kanyataan. Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (
materi ) semata – mata. Realitas adalah perpaduan benda ( materi dan jasmaniah ) dengan yang nonmateri ( spiritual, jiwa, dan
rohani)http://www.mail-
archive.com/mayapadaprana@yahoogroups.com/
( 1
Januari 2009 )
b.
Pembahasan ketiga aliran filsafat tersebut.
1. Aliran
Filsafat Idealisme
Tokoh aliran
idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan
suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah
gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara
gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea.
Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea
sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang
mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan
idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat
dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari
dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea
adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya
sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea
digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam
dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Plato
yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa
jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan
yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing
dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan
kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya
berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof,
perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling
atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan
serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan,
serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai
kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato
mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi
adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh
bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan
yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur,
mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala
dunia idea adalah pekerjaan norahi yang berupa angan-angan untuk mewujudkan
cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata.
Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang
lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai
materi yang beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya
hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36). Aliran idealisme kenyataannya sangat
identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita.
Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup
dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada
yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat
yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya
terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian
kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang
hakiki.
Prinsipnya,
aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia
idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata
seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas
dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang
merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan
Tuhan, arche,sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami
perubahan.
Inti
yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih
berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia.
Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda
atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme
berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang
baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk
menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga
hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya
hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru (Bakry,
1992:56). Maka apabila kita menganalisa pelbagai macam pendapat tentang isi
aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani
yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir
bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan
hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang
dalam idealisme disebut dengan idea.
Memang
para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang
fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran (Ali,
1991:63). Sehingga, rohani dan
sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata
tidak mutlak bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme
mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya
adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata
sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada
dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme
dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini
dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin
dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip
pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini
adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia
nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan
dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi
sasaran studi bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 2988:19).
Plato
dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea
bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan
pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata.
Memang kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme
khususnya dengan Plato. Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih
banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari
dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan
bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir.
Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat
tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya
yang pokok dan utama.
Antara lain Betran
Russel berkata: Adapun buah pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat
Plato adalah: kota utama yang merupakan idea yang belum pernah dikenal dan
dikemukakan orang sebelumnya. Yang kedua, pendapatnya tentang idea yang
merupakan buah pikiran utama yang mencoba memecahkan persoalan-persoalan
menyeluruh persoalan itu yang sampai sekarang belum terpecahkan. Yang ketiga,
pembahasan dan dalil yang dikemukakannya tentang keabadian. Yang keempat, buah
pikiran tentang alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu
pengetahuan (Ali, 1990:28).
2. Aliran Filsafat
Materialisme
Masalah
fundamental yang besar dari semua filsafat, teristimewa dari filsafat yang
akhir-akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan antara pikiran dengan keadaan.
Sejak zaman purbakala, ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu
tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang khayal-khayal impian [2-1] mulai
percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas-aktivitas tubuh
mereka, tetapi, aktivitas-aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami
tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati – sejak waktu itu manusia
didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika
pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup
terus, maka tidak ada alasan untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri
baginya. Maka itu timbul ide tentang kekekal-abadian, yang pada tingkat.
perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi
sebagai takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan, dan sering
sekali, seperti dikalangan orang-orang Yunani, sebagai malapetaka yang
sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi
kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum yang lazim tentang apa yang
harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh
mati, menuju secara umum kepada paham tentang kekekal-abadian perorangan.
Dengan cara yang persis sama, lahirlah dewa-dewa pertama, lewat personifikasi
kekuatan-kekuatan alam. Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutnya
dewa-dewa itu makin lama makin mengambil bentuk-bentuk diluar-keduniawian,
sehingga akhirnya lewat proses abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses penyulingan,
yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan intelek manusia, dari
dewa-dewa yang banyak jumlahnya itu, yang banyak sedikitnya terbatas dan
saling-membatasi, muncul di dalam pikiran-pikiran manusia ide tentang satu
tuhan yang eksklusif dari agama-agama monoteis.
Jadi masalah hubungan
antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam – masalah yang
terpenting dari seluruh filsafat – mempunyai, tidak kurang daripada semua
agama, akar-akarnya di dalam paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan
tiada berpengetahuan. Tetapi masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan
dengan seluruh ketajamannya, dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya,
hanya setelah umat manusia di Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam
Zaman Tengah Nasrani. Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan,
suatu masalah yang, sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam
skolastisisme Zaman Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam –
masalah itu, dalam hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan
menciptakan dunia ataukah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di
kemudian hari?
Jawaban-jawaban yang
diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua
kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan
dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam
satu atau lain bentuk – dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya,
penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama
Nasrani – merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai
yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.
Dua pernyataan ini,
idealisme,dan materialisme, mula-mula tidak mempunyai arti lain daripada itu;
dan disinipun kedua pernyataan itu tidak digunakan dalam arti lain apapun.
Kekacauan apa yang timbul bila sesuatu arti lain diberikan kepada kedua
pernyataan itu akan kita lihat di bawah ini.
Tetapi masalah
hubungan antara pikiran dengan keadaan mempunyai segi lain lagi – bagaimana
hubungan pikiran kita tentang dunia di sekitar kita dengan dunia itu sendiri ?
Dapatkah pikiran kita mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita
menghasilkan pencerminan tepat dari realitas di dalam ide-ide dan
pengertian-pengertian kita tentang dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa
filsafat masalah ini dinamakan masalah identitas pikiran dengan keadaan, dan
jumlah yang sangat besar dari para ahli filsafat memberikan jawaban yang
mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel, misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan
sendirinya; sebab apa yang kita kenal di dalam dunia nyata adalah justru
isi-pikirannya – yang menjadikan dunia berangsur-angsur suatu realisasi dari
ide absolut yang sudah ada di sesuatu tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia
dan sebelum dunia. Tetapi adalah jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran
dapat mengetahui isi yang sejak semula adalah isi-pikiran. Adalah sama jelasnya
bahwa apa yang harus dibuktikan disini sudah dengan sendirinya terkandung di
dalam premis-premisnya. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel
menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran
dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah
satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti
membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan
filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai
dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat
pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.
Di
samping itu masih ada segolongan ahli filsafat lainnya – mereka yang meragukan
kemungkinan pengenalan apapun, atau sekurang-kurangnya pengenalan yang
selengkap-lengkapnya, tentang dunia. Di dalam golongan ini, diantara para ahli
filsafat yang lebih modern, termasuk Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan
peranan yang sangat penting dalam perkembangan filsafat. Apa yang menentukan
dalam menyangkal pandangan ini sudah dikatakan oleh Hegel, sejauh ini mungkin
dari pendirian idealis. Tambahan-tambahan materialis yang diajukan oleh
Feuerbach, adalah lebih bersifat cerdik daripada mendalam. Penyangkalan yang
paling kena terhadap pikiran aneh ini seperti terhadap semua pikiran filsafat
yang aneh lainnya ialah praktek, yaitu eksperimen dan industri. Jika kita dapat
membuktikan ketepatan konsepsi kita tentang suatu proses alam dengan
membikinnya sendiri, dengan menciptakannya dari syarat-syaratnya dan malahan
membuatnya berguna untuk maksud-maksud kita sendiri, maka berakhirlah sudah
“konsepsi” Kant yang tak terpahami itu tentang “benda-dalam-dirinya” Zat-zat
kimia yang dihasilkan di dalam tumbuh-tumbuhan dan di dalam tubuh binatang
tetap merupakan “benda-dalam-dirinya” itu sampai ilmu kimia organik mulai
menghasilkan zat-zat itu satu per satu; sesudah itu “benda-dalam-dirinya”
menjadi benda untuk kita, seperti, misalnya, alizarin, zat warna dari
tumbuh-tumbuhan Rubiantinetorum, yang kita tidak susah-susah lagi
menghasilkannya di dalam akar-akar tumbuh-tumbuhan itu di ladang, tetapi
membuatnya jauh lebih murah dan sederhana dari tir batubara. Selama 300 tahun
sistim tata surya Copernikus merupakan hipotesa dengan kemungkinan benarnya
seratus, seribu atau sepuluh ribu lawan satu, meskipun masih tetap suatu
hipotesa. Tetapi ketika Leverrier, dengan bahan-bahan yang diberikan oleh
sistim itu, bukan hanya menarik kesimpulan tentang keharusan adanya suatu
planet yang tidak diketahui, tetapi juga menghitung kedudukan yang mesti
ditempati oleh planet itu di langit, dean ketika Gallilei benar-benar menemukan
planet itu, [2-2] maka
terbuktilah kebenaran sistim Copernikus itu. Jika, sekalipuni demikian, kaum
Kantian Baru sedang mencoba menghidupkan kembali paham Kant di Jerman dan kaum
agnostik menghidupkan kembali paham Hume di Inggris (dimana paham itu
sesungguhnya belum pernah lenyap), maka, mengingat bahwa secara teori dan
praktek bantahan terhadap paham-paham itu sudah lama dicapai, hal ini secara
ilmiah merupakan kemunduran dan secara praktis hanya merupakan cara
kemalu-maluan dalam menerima materialisme dengan diam-dima, sambil
mengingkarinya di depan dunia.
Tetapi
selama periode yang Panjang ini, yaitu sejak Descartes sampai Hegel dan sejak
Hobbes sampai Feuerbach, para ahli filsafat sekali-kali tidak didorong, seperti
yang mereka pikirkan, oleh kekuatan akal murni semata. Sebaliknya, yang
betul-betul sangat mendorong mereka maju ialah kemajuan yang perkasa dan
semakin cepat dari ilmu-ilmu alam dan industri. Di kalangan kaum materialis hal
ini terang-benderang terlihat dipermukaan, tetapi sistim-sistim idealis juga
semakin banyak mengisi diri dengan isi materialis dan mencoba secara panteis
mendamaikan pertentangan antara pikiran dengan materi. Jadi, akhirnya, mengenai
metode dan isi sistim Hegelian hanyalah mewakili materialisme yang
dijungkirbalikkan secara idealis.
Jalan
evolusi Feuerbach ialah jalan evolusi seorang Hegelian – memang, tidak pernah
seorang ortodoks Hegelian yang sempurna – menjadi seorang materialis; suatu
evolusi yang pada tingkat tertentu mengharuskan adanya pemutusan hubungan
seluruhnya dengan sistim idealis dari pendahulunya. Dengan kekuatan yang tak
tertahan, Feuerbach akhirnya didorong menginsafi, bahwa adanya “ide absolut”
pra-dunia dari Hegel, “adanya terlebih dulu kategori2 logis” sebelum dunia ada,
adalah tidak lain daripada sisa2 khayalan dari kepercayaan tentang adanya
pencipta diluar-dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasa dengan panca
indera, yang kita sendiri termasuk di dalamnya, adalah satu2nya realitas; dan
bahwa kesadaran serta pemikiran kita, betapa diatas-panca-inderapun nampaknya,
adalah hasil organ tubuh yang materiil, yaitu otak. Materi bukanlah hasil jiwa,
tetapi jiwa itu sendiri hanyalah hasil tertinggi dari materi. Ini sudah tentu
adalah materialisme semurni-murninya. Tetapi setelah sampai sedemikian jauh,
Feuerbach tiba2 berhenti. Dia tidak dapat mengatasi purbasangka filsafat yang
lazim, purbasangka bukan terhadap barangnya tetapi terhadap nama materialisme.
Dia berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar dari bangunan hakekat dan
pengetahuan manusia; tetapi bagi saya materialisme bukanlah seperti bagi ahli
fisiologi, seperti bagi sarjana ilmu2 alam dalam arti yang lebih sempit,
misalnya, bagi Moleskhott, dan memang suatu keharusan menurut pendirian dan
pekerjaan mereka, yaitu bangunan itu sendiri. Ke belakang saya setuju
sepenuhnya dengan kaum materialis; tetapi ke depan tidak.”
Disini
Feuerbach mencampurbaurkan materialisme yang merupakan pandangan-dunia umum
yang bersandar pada pengertian tertentu tentang hubungan antara materi dengan
pikiran. dengan bentuk khusus dalam mana pandangan-dunia ini dinyatakan pada
tingkat sejarah tertentu, yaitu dalam abad ke-18. Lebih daripada itu, dia
mencampurbaurkannya dengan bentuk yang dangkal, yang divulgarkan, dalam mana
materialisme abad ke-18 hidup terus hingga hari ini di dalam kepala2 para ahli
ilmu2 alam dan fisika, bentuk yang dikhotbahkan oleh Bükhner, Vogt dan
Moleskhott pada tahun limapuluhan dalam perjalanan keliling mereka. Tetapi.
sebagaimana idealisme mengalami sederet tingkat2 perkembangan, begitu juga
materialisme. Dengan setiap penemuan yang membuat zaman, sekalipun di bidang
ilmu2 alam, materialisme harus mengubah bentuknya, dan setelah sejarah juga
dikenakan perlakuan materialis, maka disinipun terbuka jalan raya perkembangan
yang baru.
Materialisme
abad yang lampau adalah terutama mekanis, sebab pada waktu itu, di antara semua
ilmu2 alam hanya ilmu mekanika, dan memang hanya ilmu mekanika benda2 padat –
langit dan bumi – pendek kata, ilmu mekanika gravitasi telah mencapai titik
akhir tertentu. Ilmu kimia pada waktu itu baru berada dalam masa kanak2nya,
dalam bentuk phlogistis. [2-3] Biologi
masih berlampin; organisme2 tumbuh2an dan hewan baru saja diperiksa secara
kasar dan dijelaskan sebagai akibat sebab2 mekanik semata. Seperti hewan bagi
Descartes, begitu juga manusia bagi kaum materialis abad ke-18 adalah suatu
mesin. Penerapan secara eksklusif norma2 mekanika ini pada proses2 yang
bersifat kimiawi dan organik – yang di dalamnya hukum2 mekanika memang berlaku
tetapi didesak kebelakang oleh hukum2 lain yang lebih tinggi – merupakan
keterbatasan khusus yang pertama tapi yang pada waktu itu tak terhindarkan dari
materialisme klasik Perancis.
Keterbatasan
khusus yang kedua dari materialisme ini terletak dalam ketidakmampuannya memahami
alam semesta sebagai suatu proses, sebagai materi yang mengalami perkembangan
sejarah yang tak putus2nya. Ini sesuai dengan tingkat ilmu2 alam pada waktu
itu, dan dengan cara berfilsafat secara metafisik, yaitu antidialektik, yang
bertalian dengan tingkat ilmu2 itu. Alam, sejauh yang sudah diketahui, berada
dalam gerak yang kekal-abadi. Tetapi menurut ide2 pada waktu itu, gerak itu
berlangsung, juga dengan kekal-abadi, dalam lingkaran dan karenanya tidak
pernah berpindah dari tempatnya: gerak itu berulang-ulang menghasilkan hasil
yang itu2 juga. Pandangan itu pada waktu itu tidak dapat dielakkan. Teori Kant
tentang asal-usul tata surya [2-4] baru
saja dikemukakan dan masih dianggap sebagai suatu barang ajaib belaka. Sejarah
perkembangan bumi, geologi, masih sama sekali belum diketahui, dan konsepsi
bahwa makhluk2 alam yang bernyawa di hari ini adalah hasil guatu rentetan
perkembangan yang panjang dari yang sederhana ke yang rumit, pada waktu itu
sama sekali tidak dapat dikemukakan secara ilmiah. Oleh sebab itu pendirian
yang tidak historis terhadap alam tidak dapat dielakkan. Semakin kuranglah
alasan kita untuk mencela para ahli filsafat abad ke-18 tentang hal itu, karena
hal yang sama terdapat pada Hegel. Menurut Hegel, alam, sebagai “penjelmaan”
semata diri ide, tidak mampu berkembang dalam waktu hanya mampu memperbesar
kelipatgandaannya dalam ruang, sehingga alam bersamaan dan berdampingan satusamalain
memperlihatkan semua tingkat perkembangan yang terkandung di dalamnya, dan
ditakdirkan mengalami pengulangan yang kekal-abadi dari proses-proses yang itu2
juga. Hal yang tak masuk akal ini, yaitu perkembangan dalam ruang, tetapi yang
lepas dari waktu – syarat fundamental bagi semua perkembangan – dipaksakan oleh
Hegel pada alam justru ketika geologi, embriologi, fisiologi tumbuh2an dan
hewan, serta ilmu kimia organik sedang dibangun, dan ketika dimana-mana
berdasarkan ilmu2 baru ini sedang tampil ramalan2 gemilang dari teori evolusi
yang datang kemudian (misalnya; Goethe dan Lamarck). Tetapi sistim menuntutnya;
maka itu metode, demi kepentingan sistim, harus menjadi tidak jujur terhadap
dirinya sendiri.
Konsepsi
tidak-historis yang sama berkuasa juga di bidang sejarah. Di bidang itu
perjuangan melawan sisa2 Zaman Tengah memburemkan pandangan. Zaman Tengah
dianggap sebagai interupsi sejarah belaka selama seribu tahun kebiadaban umum.
Kemajuan besar yang dibuat dalam Zaman Tengah – peluasan wilayah kebudayaan
Eropa, bangsa-bangsa besar yang berdayahidup sedang terbentuk di wilayah itu
damping-mendampingi, dan akhirnya kemajuan teknik yang luar biasa pada abad
ke-14 dan ke-15 – semua ini tidak dilihat. Jadi tidak dimungkinkan adanya
pengertian rasionil tentang saling-hubungan kesejarahan yang besar, dan sejarah
paling banyak menjadi suatu kumpulan contoh-contoh dan ilustrasi2 untuk
digunakan oleh para ahli filsafat.
Penjaja2
yang melakukan pemvulgaran, yang di Jerman pada tahun limapuluhan berkecimpung
dalam materialisme, sama sekali tidak mengatasi keterbatasan guru2 mereka itu.
Seluruh kemajuan ilmu2 alam yang sementara itu telah dicapai bagi mereka
hanyalah bukti2 baru saja yang dapat digunakan untuk menentang adanya pencipta
dunia; dan, memang, mereka sama sekali tidak menjadikan pengembangan teori itu
lebih jauh sebagai usaha mereka. Walaupun idealisme sudah tidak bisa berkembang
lagi dan mendapat pukulan yang mematikan dari Revolusi 1848, ia mempunyai
kepuasan melihat bahwa materialisme untuk waklu itu sudah tenggelam lebih dalam
lagi. Tidak dapat disangkal bahwa Feuerbach adalah benar ketika dia menolak
memikul tanggungjawab atas materialisme itu; hanya dia semestinya tidak
mencampurbaurkan ajaran2 pengkhotbah2 berkelilling itu dengan materialisme pada
umumnya.
Tetapi,
disini, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, semasa hidup
Feuerbachpun, ilmu2 alam masih berada dalam proses pergolakan yang hebat,
pergolakan yang baru selama limabelas tahun yang akhir2 ini mencapai kesimpulan
relatif yang membawa kejelasan. Bahan2 ilmiah baru telah diperoleh dalam ukuran
yang belum pernah terdengar hingga kini, tetapi penetapan saling-hubungan, dan
dengan demikian soal membawa ketertiban ke dalam kekacauan penemuan2 yang
dengan cepatnya susul-menyusul, baru akhir2 ini menjadi mungkin. Memang benar
bahwa Feuerbach semasa hidupnya masih sempat menyaksikan ketiga penemuan yang
menentukan – penemuan sel, transformasi energi dan teori evolusi, yang diberi
nama menurut Darwin. Tetapi bagaimana seorang ahli filsafat yang kesepian, yang
hidup dalam kesunyian desa, dapat secara memuaskan mengikuti perkembangan2
ilmiah guna menghargai menurut sepenuh nilainya penemuan2 yang sarjana2 ilmu2
alam sendiri pada waktu itu masih membantahnya atau tidak tahu bagaimana
menggunakannya sebaik-baiknya? Kesalahan tentang ini semata-mata terletak pada
syarat2 yang menyedihkan yang terdapat di Jerman, yang mengakibatkan tukang2
tindas-kutu eklektis yang melamun telah menempati mimbar2 filsafat, sedangkan
Feuerbach yang menjulang tinggi diatas mereka semua, harus tinggal diudik dan
membusuk disuatu desa kecil. Maka itu bukanlah salah Feuerbach bahwa konsepsi
historis tentang alam, yang kini sudah mungkin dan yang menyingkirkan segala
keberatsebelahan materialisme Perancis, tetap tak tercapai olehnya.
Kedua, Feuerbach
memang tepat dalam menyatakan bahwa materialisme alam-ilmiah yang eksklusif
adalah sesungguhnya dasar dari bangunan pengetahuan manusia, tetapi bukan
bangunan itu sendiri. Karena kita tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi juga
di dalam masyarakat manusia, dan inipun, tidak kurang daripada alam, mempunyai
sejarah perkembangannya dan ilmunya. Oleh sebab itu soalnya ialah membikin ilmu
tentang masyarakat, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang dinamakan ilmu-ilmu
sejarah dan filsafat, selaras dengan dasar materialis, dan membangunnya kembali
di atas dasar itu. Tetapi tidak ditakdirkan bahwa Feuerbachlah yang melakukan
hal yang demikian itu. Meskipun ada “dasar”nya, dia disini tetap terikat oleh
belenggul2 idealis yang tradisionil, suatu kenyataan yang dia akui dengan kata2
berikut ini : “Kebelakang saya setuju dengan kaum materialis, tetapi kedepan
tidak!” Tetapi disini Feuerbach sendirilah yang tidak maju “kedepan”, ke
lapangan sosial, yang tidak dapat melampaui pendiriannya tahun 1840 atau 1844.
Dan lagi ini terutama disebabkan oleh pengasingan diri yang memaksa dia, yang,
diantara semua filsuf, adalah yang paling cenderung kepada pergaulan,
kemasyarakatan, untuk menghasilkan pikiran2 dari kepalanya yang kesepian itu
dan bukan sebaliknya, yaitu dari pertemuan2 yang bersahabat dan bermusuhan
dengan orang2 lain yang sekaliber dengan dia. Kelak akan kita lihat secara
mendetail seberapa banyak dia tetap seorang idealis di dalam bidang itu.
Hanya
perlu ditambahkan lagi disini bahwa Starcke mencari idealisme Feuerbach di
tempat yang salah. “Feuerbach adalah seorang idealis; dia percaya akan kemajuan
umat manusia.” (hlm. 19). “Dasar, bangunan bawah dari keseluruhannya,
bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi kami tidaklah lain daripada suatu
perlindungan terhadap penyelewengan2, sementara kami mengikuiti kecenderungan2
ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan akan kebenaran
dan keadilan merupakan kekuatan2 ideal?” (hlm. VIII).
Pertama,
idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada pengejaran tujuan2 ideal.
Tetapi, ini seharusnya paling2 menyangkut idealisme Kant dan “imperatif
kategoris”nya, sebaliknya, Kant sendiri menyebut filsafatnya “idealisme
transcendental”; dan sekali-kali bukan karena dia di dalamnya juga
mempersoalkan cita2 etika, tetapi karena alasan2 yang lain samasekali,
sebagaimana Starcke akan ingat. Takhayul bahwa idealisme filsafat bersendikan
kepercayaan akan cita2 etika, yaitu cita2 sosial, timbul diluar filsafat,
dikalangan kaum filistin Jerman, yang mengapalkan diluar kepala beberapa bagian
kebudayaan filsafat yang mereka perlukan dari syair2 Skhiller. Tidak seorangpun
yang lebih keras mengecam “imperatif kategoris” Kant yang impoten, impoten
karena dia menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi
kenyataan – tidak seorangpun yang lebih kejam mencemoohkan kegairahan filistin
yang sentimental akan cita2 yang tak dapat direalisasi yang diajukan oleh
Skhiller daripada justru Hegel, orang idealis yang sempurna itu. (Lihat
misalnya, bukunya Fenomenologi).
Kedua,
kita sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa segala
sesuatu yang membikin manusia bertindak harus melalui otak mereka – bahkan
makan dan minum, yang mulai sebagai akibat dari rasa lapar atau rasa haus hanya
disampaikan melalui otak dan berakhir sebagai hasil rasa puas yang juga
disampaikan melalui otak. Pengaruh2 dunia luar terhadap manusia menyatakan
dirinya di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan, pikiran,
rangsang, kemauan – pendek kata, sebagai “kecenderungan2 ideal”, dan dalam
bentuk ini menjadi “kekuatan2 ideal”. Maka itu, jika seseorang harus dianggap
idealis karena dia mengikuti “kecenderungan2 ideal” dan mengakui bahwa
“kekuatan2 ideal” mempunyai pengaruh terhadap dia, maka sietiap orang yang agak
normal perkembangannya adalah seoreang idealis sejak lahirmya dan jika demikian
apakah masih bisa ada seorang materialis?
Ketiga,
keyakinan bahwa kemanusiaan, sekurang-kurangnya pada saat sekarang ini, dalam
keseluruhannya bergerak menurut arah yang maju tidak mempuniai sangkut paut
apapun dengan antagonisme antara materialisme dan idealisme. Kaum materialis
Perancis, tidak kurang daripada orang2 deis seperti Voltaire dan Rousseau
menganut keyakinan itu dalam derajat yang hampir fanatik, dan kerapkali telah
membuat pengorbanan perorangan yang paling besar untuk keyakinan itu. Jika
pernah ada orang yang mengabdikan seluruh hidupnya kepada “kegairahan akan
kebenaran dan keadilan” – menggunakan kata2 itu dalam arti yang baik – maka
orang itu adalah Diderot, misalnya. Oleh sebab itu, jika Starcke menyatakan
bahwa semua itu adalah idealisme, maka ini hanya membuktikan bahwa bagi dia
kata materialisme, dan seluruh antagonisme antara kedua aliran itu telah hilang
segala artinya.
Kenyataannya
ialah bahwa Starcke, walaupun barangkali secara tidak sadar, dalam hal ini
memberi konsesi yang tidak dapat diampuni kepada prasangka filistin yang
tradisionil mengenai perkataan materialisme, yang diakibatkan oleh pemfitnahan
kata itu dalam waktu lama oleh pendeta2. Perkataan materialisme oleh si
filistin diartikan kerakusan, kemabukan, mata-keranjang, nafsu berahi,
kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa
– pendeknya, segala kejahatan busuk yang dia sendiri lakukan secara sembunyi2.
Perkataan idealisme diartikannya kepercayaan akan kebajikan, filantropi
universal dan secara umum suatu “dunia yang lebih baik,” yang dia sendiri
banggakan dimuka orang lain, tetapi yang dia sendiri hanya percaya selama dia
berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan sebagai akibat dari
ekses2 “materialis”nya yang biasa. Waktu itulah dia menjanjikan lagu
kesayangannya: Manusia itu apa ? – Setengah binatang, setengah malaikat.
Adapun
tentang hal2 lainnya, Starcke dengan bersusahpayah membela Feuerbach terhadap
serangan2 dan ajaran2 para asisten profesor yang berteriak2, yang kini di
Jerman memakai nama ahli filsafat. Bagi orang2 yang berminat akan tembuni dari
filsafat klasik Jerman, ini sudah tentu merupakan soal yang penting; bagi
Starcke sendiri mungkin nampaknya peritu. Tetapi, kami tak akan menyusahkan pembaca dengan itu.
3. Aliran Filsafat
Realisme
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea,
jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu
contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada inderawi
yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan
sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya
memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea; inilah
pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini
disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah.
Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan
tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak
pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya
ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu
pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya
Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan
dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat
bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut
dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi.
Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra
eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato
lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah
pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu
pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara.
Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan
jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Plato juga membuat uraian
tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang
bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama “Akademia” yang paling didedikasikan
kepada pahlawan yang bernama
c.
Pentingnya mempelajari ketiga aliran filsat itu.
Dalam mempelajari Administrasi Pendidikan tidak bisa
lepas dari filsafat Administrasi Pendidikan yang harus dikaji, sehingga masalah
ide dan realitas yang dibahas dalam filsafat itu perlu diketahui, sehingga
dalam menentukan arah tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak didik itu
sendiri.
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak
memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap
pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran
pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah
tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh idealisme
yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne
adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun
di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang
menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula
B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge
(1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas
Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam
filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi
mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni
Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar
dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat
idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu
sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang
keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara
fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga
untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak
sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19
secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan
sebagai ekspresi realitas spiritual.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang
pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham
idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan
ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai
makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat
dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang
menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu
kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya
spiritual.
Sejak idealisme sebagai paham filsafat pendidikan
menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami
tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan
fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat
dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat
pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas
tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara
keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain
bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang
bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia,
mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu
membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan
idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia.
Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada
yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan
manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan
yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan
secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan
sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan
Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran
idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si
anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari
siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru
haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru
menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu
membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola
para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang
bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang
komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi
bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut
belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika
anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan
demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
C. KESIMPULAN
1. Ide/Spirit manusia
adalah sesuatu yang menentukan hidup dan pengertian manusia yang dibahas dalam
aliran filsafat Idealisme: yang menekankan ”idea" (dunia roh) sebagai
objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala sesuatu
yg dilakukan oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dgn hal2 yg bersifat
lahiriah, tetapi harus berdasarkan prinsip kerohanian (idea). Oleh sebab itu,
Idealiseme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber
pengetahuan.
2. Realitas adalah hakekat kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia
yang merupakan perpaduan ide dan materi yang dibahas dalam aliran filsafat
Realisme yang menggambarkan bahwa ajaran materialis dan idealisme yang bertentangn
itu, tidak sesuai debngan kanyataan. Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (
materi ) semata – mata. Realitas adalah perpaduan benda ( materi dan jasmaniah
) dengan yang nonmateri ( spiritual, jiwa, dan rohani)
3. Ide dan realitas perlu dipelajari untuk menentukan
arah pendidikan kemana proses pembentukan anak didik dibawa, sehingga akan
sesuai dengan ftrah manusia.
DAFTAR
REFERENSI
1 Januari 2009
mayapadaprana@yahoogroups.com
Subject: [Mayapada Prana] Filsafat Idealisme, 29
Desember 2008.
Hamzah Ya’kub , Filsafat
Ketuhanan, Bandung, 1984.
Google.Plato dan
Pengertian Filsafat.com, 23 Des. 2008)
Pusat Bahasa Departemen P dan K., Kamus Besar
Bahasa Indonesia,
Jakarta.2002.
Muhammad Zein, Filsafat Pendidikan Islam, Diktat,
1985.