TASAWUF
OLEH :
AHMAD SULAIMAN
PAI 3 SEM 4
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SU
DAFTAR ISI
Daftar Isi .............................................................................................................. 1
BAB I ................................................................................................................... 2
Pendahuluan .......................................................................................................... 2
Latar Belakang ...................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................. 3
Pembahasan .......................................................................................................... 3
Pengertian Tasawuf .............................................................................................. 3
Al Maqamat Dalam Tasawuf ................................................................................ 5
a) Taubat
....................................................................................................... 7
b) Sabar
......................................................................................................... 7
c) Zuhud
....................................................................................................... 8
d) Tawakkal .................................................................................................... 10
e) Ridho
........................................................................................................ 12
BAB III ................................................................................................................ 14
Penutup ................................................................................................................ 14
Kesimpulan ........................................................................................................... 14
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kecenderungan
kehidupan yang berlatar belakangkan teknologi dan informasi bukan saja
menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah materialistic-hedonistic
tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan dalam masyarakat. Kehidupan
manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada
lagi harapan dan cinta dalam kehidupan ini.
Berdasarkan
hal ini, modrenisme dilihat gagal memberikan kehidupan yang lebih
bermakna dalam kehidupan manusia. Keadaan ini telah menimbulkan berbagai
persoalan dalam masyarakat tentang apakah trend baru pula yang akan
muncul pada hari esok?.
Dalam
perjalanan sejarah spiritualisme Muslim, terlihat bahawa transendensi
merupakan jalan ketuhanan spiritual para sufi. Ini kerana jalan itu dirasakan
amat relevan dengan kehidupan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi
mengalami suasana realiti yang baru yaitu suatu kehidupan yang bebas
dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, dan sifat rakus .
Dengan
menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan.
Bagi kelompok ini, realiti spiritual yang ditempuhi bukanlah sesuatu
yang ilusi, tetapi benar-benar suatu realiti yang hanya dapat dinikmati
sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Tasawuf
Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada
pemebersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai
dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih,
khususnya pada bab thaharoh yang memusatkan perhatian pada pembersiahan aspek
jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebgai dimensi eksoterik.
Secara
etimologi kalimat Tasawuf masuk dalam “babut-tafaul” dengan wazan
tasawwufa, yatasawwufu, tasawwufan. “tasawwufar-rajulu” yakni seorang laki
laki telah berpindah halnya daripada kehidupan biasa kepada kehidupan shufi.
Masih banyak
pendapat yang mengemukan asal kata dari kata tasawuf
a)
Ada
yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Suffatul masjid yang
artinya serambi masjid. Pendapat ini dihubungkan dengan kebiasaan orang
orang orang fakir islam yang selalu
mengambil tempat di serambi mesjid Madinah untuk meningkatkan amal dan
menyempurnakan batin dan jiwa.
b)
Ulama
lain berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shaf yang artinya
barisan dalam shalat. Hal ini dihubungkan dengan kebiasaan orang orang sufi
yang selalu mengambil tempat di barisan (shaf) pertama pada setiap shalat
berjamaah di masjid.
c)
Sebagian
ulama lagi berpendapat bahwa kata
tasawuf berasal dari kata shuf, artinya bulu domba. Hal ini dihubungkan
dengan kebiasaan para sufi masa lalu yang selalu memakai kain wool (terbuat ari
bulu domba) sebagai perlambang prinsip kehidupan mereka yang mengutamakan
kesederhanaan dan menjauhi kemewahan.
d)
Sebagian
lagi berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shafa yang berarti
kesucian, hal ini dihubungkan denngan kebiasaan dan prinsip hidup sufi yang
senantiasa ingin suci, jauh dari bentuk yang haram, yang kotor, supaya dapat
lebih dekat dengan sang Pencipta
e)
Jirji
Zaidan mengatakan bahwa kata tasawuf dalam bahasa arab berkaitan erat dengan
kata shofis = kebijaksanaan dalam bahasa Yunani. Dan umumnya kaum
orientalist mendukung pendapat Jirji Zaidan ini dengan mengatakan bahwa ilmu
tasawuf dalam dunia islam belum berkembang sebelum dimasuki pengaruh Filsafat
Yunani. Tetapi pendapat Jirji Zaidan ini ditolak oleh Ibrahim Basyuni.
Tasawuf
mengandungi nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina dan
membangun psikologi dan peribadi Islam melalui takhalliyyah al-nafs, tahalliyyah
al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam
mencapai kejernihan, kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia boleh menghasilkan
keperibadian Islam dan kesihatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat
perjalanan dalam tasawuf adalah seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridha,
mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa, ikhlas, shukr dan ma`rifah.
Dalam
al Quran sendiri banyak ayat yang menyuruh untuk bertasawuf baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kata tasawuf
dengan asal kata soffa (serambi) muncul 13 kali dalam al Quran dalam 11 surat,
sedangkan kata tasawuf dengan asal kata sofaa ( suci) muncul 18 kali dalam 12
surat. Diantara ayat tersebut adalah Q. S an Namal ayat 59
{ قُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلاَمٌ عَلَىٰ
عِبَادِهِ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَىٰ ءَآللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
}
Artinya
Katakanlah Muhammad “segala puji
bagi Allah dan salam sejahtera atas hamba-hambanya yang dipilihNya apakah Allah
yang lebih baik atau apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)
Ayat diatas memerintahkan nabi
Muhammad SAW bahwa, katakanlah alhamdulillah atau segala puji bagi Allah
dalams segala keadaan dan situasi.
Dialah penyandang Asmaul husna, nama nama terindah dan salam sejahtera atas
hamba hambaNya yang dekat kepadaNya dan yang dipilihNya siapa, kapan, dan
dimana pun berada, kecelakaan dan kemurkaan menimpa hamba hambaNya yng durhaka,
kapan dan dimanapun.
Juga dalil al
Quran yang menyuruh untuk bertasawuf secara tidak langsung dalam surat Fathir
ayat 5
{ يٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ ٱلْحَيَاةُ ٱلدُّنْيَا وَلاَ يَغُرَّنَّكُمْ
بِٱللَّهِ ٱلْغَرُورُ }
Artinya
Wahai manusia! Sungguh, janji Allah
itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah
setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah
AL-MAQAMAT DALAM TASAWUF
Tazkiyyah
al-nafs dalam tasawuf
sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan
pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha
integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik
antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau
mendekatkan diri kepada Tuhan melalui proses dan latihan-latihan rohani
tertentu.
Tazkiyyah
al-nafs adalah proses
beralihnya jiwa yang kotor, ternoda dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi
menyucikan, peralihan daripada keadaan yang tidak menurut syariat kepada
keadaan yang menempati syariat, daripada hati yang kafir menjadi hati yang
mukmin, dari munafik menuju sifat jujur, amanah dan fatanah, kebakhilan
bertukar kepada pemurah, sifat dendam berganti dengan pemaaf, tawaddu`,
tawakkal.
Kebersihan
jiwa akan membawa kepada kondisi batiniah yang bebas daripada nilai-nilai
negatif yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas daripada
nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai
dan dicintai oleh masyarakat sekeliling serta diridhai Allah SWT.
Ajaran-ajaran sufi mengandungi proses, cara
dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri sama ada secara zahir
mahupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al Isra’ ayat 79
{ وَمِنَ ٱلْلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً
لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً }
Artinya
“Pada malam,
hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk solat malam) sebagai tambahan untuk
engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat terpuji.”
Seseorang
sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Tuhan dan
hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai
usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti tawbat, zuhud,
sabar, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.Amalan-amalan itu kemudiannya dijadikan
sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs.
Terjadi
polemik tentang tingkatan-tingkatan maqam menurut para sufi. Umpamanya al-Kalabadhi
meletakkan urutan maqam sebagaimana di bawah ini: taubat, zuhud, sabar, faqir,
tawaddu`, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma`rifah. Abu Nasr alSarraj al-Tusi
menyebut dalam al-Luma` sebagai berikut: taubat, wara`, zuhud, faqir, sabar,
tawakkal, ridha. Al-Ghazali dalam Ihya’ `Ulum al-Din menyebutkan: taubat, sabar,
zuhud, tawakkal, dan ridha. satu
peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu
yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Tuhan, mendapat kecintaan dan
keredaan daripadaNya.
Hasil
daripada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah
kehidupan yang positif, terutamanya terhadap kondisi batin. Seorang sufi akan
merasa khawuf (khuatir), tawaddu, taqwa (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak
mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah), syukur
(berterima kasih kepada Tuhan), dan mutma’innah (ketenteraman) akan melahirkan
integrasi diri, antara diri dengan orang lain dan diri dengan alam
lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) daripada
Allah sebagai Pencipta.
Dengan
arti lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepadaNya
dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas
masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut,
serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya.Seorang
sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah
menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut. Tahap-tahap atau
tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama di antara ahli-ahli
sufi, namun mereka bersependapat bahawa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah
taubat.
Rentetan
amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada kondisi rohani yang
disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara intuitif dalam hati secara tidak
langsung sebagai anugerah daripada Allah semata-mata, daripada rasa senang atau
sedih, rindu atau benci, rasa takut atau sukacita, ketenangan atau kecemasan
secara berlawanan dalam realiti dan pengalaman dan sebagainya. Al-Maqamat dan
al-ahwal adalah dua bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian
daripada kausaliti (sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan
(exersice) rohani. Ajaran sufi berkenaan maqamat dan ahwal memiliki hierarki
yang tertib.
Para
ahli sufi meletakkan tingkatan yang berbeda di antara satu sama lain yang mesti
diikuti oleh seorang salik (pengikut ajaran tasawuf). Namun perbedaan itu
tidaklah dijadikan suatu perdebatan di antara pengamal-pengamal ajaran tasawuf
itu kerana mereka masing-masing memahami bahawa penentuan hierarki tersebut
adalah berdasarkan pengalaman kesufian mereka tersendiri. Tingkatan maqamat
yang popular di kalangan sufi adalah sebagai berikut:
1.
Taubat
Taubat
merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubat ini seorang sufi
membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku yang menimbulkan
dosa dan rasa bersalah. Taubat itu sendiri mengandungi makna “kembali”; dia bertaubat
berarti dia kembali. Jadi taubat adalah kembali daripada sesuatu yang dicela
oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji.
Al-Junayd al-Baghdadi seorang ahli sufi pernah ditanya tentang taubat. Dia menjawab: “Taubat
adalah menghapuskan dosa seseorang.” Taubat menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah adalah “kembalinya seseorang hamba kepada
Allah dengan meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan
orang-orang yang tersesat. Dia tidak mudah memperolehinya kecuali dengan
hidayah Allah agar dia mengikutisirat al-mustaqim (jalan yang lurus)”.
Al Ghazali mengklasifikasikan taubat
itu kedalam tiga tingkatan
·
Meninggalkan
kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut pada
siksa Allah
·
Beralih
dari suatu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik, dalam
tasawuf keadaan ini disebut inabah
·
Rasa
penyesalan yang dilakukan semata mata karena ketaatan dan kecintaan kepada
Allah, hal ini disebut aubah.
2.
Sabar
Sabar
oleh seorang sufi diartikan sebagai keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan
konskuen dalam pendirian, jijwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak goyah
walau bagaimanapun beratnya yang dihadapi, pantang mundur dan tidak mudah
menyerah, karena segala sesuatu itu terjadi adalah iradah tuhan dan mengandung
ujian.
Sabar
bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha
kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar
ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara
yang tidak diingini mahupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi. Menurut
Imam Ahmad ibn Hanbal perkataan sabar disebut dalam al-Qur’an pada tujuh puluh
tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabar ini wajib dan merupakan sebahagian daripada
shukr. Sabar
dalam pengertian bahasa adalah “menahan atau bertahan”. Jadi sabar sendiri
adalah “menahandiri daripada rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah
daripada keluh kesah serta menahan
anggota tubuh daripada kekacauan”.
Seseorang
yang berusaha memiliki sifat sabar adalah usaha bagi mempraktikkan “tarbiyyah
al-ruhaniyyah” dengan meneladani sifat Rasulullah s.a.w yang ulu al-‘azmi.
Tahap kesabaran dalam bentuk ketaatan adalah lebih tinggi derajatnya berbanding
dengan kesabaran dalam menjauhi larangan Allah. Sabar dalam ketaatan memiliki
makna esoterik yang radikal di mana di dalamnya tergambar kesungguhan dan
teladan yang sangat disukai Allah SWT. Namun sabar dalam menjauhi laranganNya
tidak kalah pentingnya kerana ia merupakan kemaslahatan yang akan menghiasi
seseorang Muslim sehingga ia boleh meninggalkan pelbagai. Untuk
mengklasifikasikan makna dan darjat kesabaran maka sabar dapat dibahagikan
kepada tiga darjat iaitu:
i. sabar dalam
menghindari kederhakaan dengan memerhatikanperingatan tetap teguh keimanan dan
waspada hal yang haram dan menghindari kederhakaan kerana malu;
ii. sabar dalam
ketaatan dengan menjaga ketaatan itu secara terus menerus, memeliharanya dengan
keikhlasan dan berdasarkan ilmu;
iii. sabar
dalam musibah dengan memperhatikan pahala yang baik,menunggu rahmat datang,
menganggap musibah sebagai remeh dan menghitung nikmat-nikmat masa lampau.
3.
Zuhud
Secara
terminologi zuhud ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatukan kemauan
kepadaNya dan sibuk denganNya berbanding kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah
memerhati dan memimpin seorang zahid.
Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan: “Zuhud adalah ketika tangan tidak memiliki
apa-apa pun dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi
tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yang dirasakannya dekat
dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahawa zuhud
adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.
Seorang
sufi meninggalkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk menuju Tuhan yang
dicintai. Menurut Imam al-Ghazali bahawa hakikat zuhud adalah “meninggalkan
sesuatu yang dikasihi dan berpaling daripadanya kepada sesuatu yang lain yang
terlebih baik daripadanya kerana menginginkan sesuatu di dalam akhirat”.
Seiring dengan pernyataan al-Ghazali, Ibn Taymiyyah pula berkata bahawa zuhud
itu bererti meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan
akhirat.
Kandungan
zuhud membangkitkan semangat spiritual yang tinggi. Pengabdian serupa itu
membawa zahid kepada ‘ubudiyyah yang sarat dengan muatan kecintaan dan
keridhoan Allah. Maka kebiasaannya
seorang zahid menahan jiwanya daripada berbagai bentuk kenikmatan dan kelazatan
hidup duniawi, menahan daripada dorongan nafsu yang berlebihan agar memperoleh
kebahagiaan yang abadi.
Hasan
al-Basri seorang tokoh sufi zaman awal Islam dalam suatu kesempatan mengatakan:
“Jauhilah dunia ini kerana dia sebenarnya sama dengan ular, licin pada rasa
tangan tetapi racunnya membunuh”.Zuhud sebenarnya bukanlah mengharamkan yang
halal atau sebaliknya juga bukan membenci kekayaan duniawi tetapi ia menjadi
perisai agar tidak terpesong dan menafikan hal-hal yang penting daripada Islam
(menyimpang daripada ajaran Islam yang sebenarnya). Namun demikian persoalan
zuhud tetap menampung perbedaan dalam satu kesatuan yang utuh dengan meletakkan
posisi Rabb pada tempat yang tetap sebagai objek daripada kecintaan dan harapan
keridhaanNya.
Zuhud
dibedakan dalam tiga tingkatan
i. Zuhud
shubhat
setelah
meninggalkan yang haram kerana tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak suka
kepada kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasiq. Zuhud
dalam shubhatbermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu itu
halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya, shubhat merupakan pembatas seperti kematian dan kehidupan
sesudahnya yang menjadi pembatas antara dunia dan akhirat, kederhakaan yang
menjadi pembatas antara iman dan kufur;
ii. Zuhud dalam
perkara-perkara yang berlebihan
Sesuatu
yang lebih daripada kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontohi
para nabi dan siddiqin. Contohnya teladan doa dalam aspek makan, minum,
pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika sufi memenuhi teladan ini untuk
menambah kekuatan dalam melakukan hal yang dicintai dan diredai Allah dan
menjauhi yang dimurkaiNya, maka itu dinamakan sebagai mengisi waktu sekalipun
dia mendapat kenikmatan kerana menggunakan hal tersebut.
iii. Zuhud
dalam zuhud
Dapat
dilakukan dengan tiga cara menghina perbuatan zuhud, menyeimbangkan keadaan
ketika mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin memperoleh balasan. Orang
yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah tidak layak melihat
keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu pengorbanan.33 Sebagaimana seorang
sufi, oleh kerana kecintaannya kepada Allah, maka seorang ahli sufi beribadah
dan meninggalkan perkara-perkara lain seperti kepentingan dan kemewahan dunia
dengan tujuan untuk mencapai kecintaan Allah Ta’ala. Zuhud dalam realiti
spiritual Islam menjadi rumpun dan asas yang kukuh.
4.
Tawakkal
Makna
daripada tawakkal di sini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan
setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar
atau mempercayai diri. Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna
mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan
dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka
tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah
SWT. Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan
sepenuh jiwa dan raga.
Dalam
tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada
selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka maupun
duka. Dalam keadaan suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan
bersabar serta tidak resah dan gelisah.
Penyerahan diri kepada Allah SWT artinya menyerahkan segala urusan pada takdir
Yang Maha Kuasa iaitu selepas seorang yang bertawakkal menjalani maqamat;
taubat, zuhud, sabr. Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan
meyakini kekuasaan dan kekuatanNya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah
terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya.
Junaid
berkata, “Tawakkal adalah bersandarnya mutiara- mutiara hati pada Allah dengan
menghilangkan keinginan keinginan terhadap selain Dia”. Esensi tawakkal adalah
menunggu sebab dari pemberi sebab, tanpa melihat kepada sebab, serta tanpa
kegelisahan, kegalauan, kesusahan, kesedihan, dan kedukaan. Permulaan
tawakkal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup
untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh
Allah SWT.
{ إِنِّي تَوَكَّلْتُ
عَلَى ٱللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَآ
إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ }
Artinya
“Sesungguhnya
aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, Tuhan kamu. Tidak ada sesuatu yang
melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang menguasainya. Sungguh Tuhanku di
atas jalan yang lurus.”
Tawakkal
adalah sebuah proses daripada perjalanan sufi dalam mendekatkan diri kepadaNya.
Penyerahan diri secara benar kepada Tuhan, tidak lain adalah manifestasi
daripada keimanan yang terwujud secara benar pula. Tawakkalseperti yang disebut
dalam al-Qur’an di pelbagai tempat dan bentuk mampu membangun pemahaman kepada
makna yang sesungguhnya. Untuk meluruskan pemahaman terhadap dimensi tawakkal
ini para sufi mengemukakan beberapa ciri penting iaitu:
i. Tawakkal
kepada Allah kerana untuk memperoleh keridoan hamba dan bahagian dunia, atau
untuk menghilangkan hal ehwal yang tidak disukai dan musibah dunia.
ii. Tawakkal
kepada Allah untuk menghasilkan apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa
keimanan, keyakinan, jihad dan dakwah kepadaNya.
iii.
Menyerahkan diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasaannya
kepada wakilnya dalam sesuatu perkara setelah dia meyakini kebenaran, kejujuran
dan kesungguhan orang itu dalam membelanya.
iv. Menyerahkan
diri kepadaNya seperti anak kecil menyerahkan segala persoalan kepada ibunya;
v. Menyerahkan
diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.58
Namun
begitu tawakkal bukanlah perkembangan daripada nilai fatalisme tetapi ia
merupakan suatu kreativiti diri untuk berebut tujuan iman yang hakiki. Dengan
demikian, tawakkal adalah realiti psikologi yang diaplikasikan setelah
menjalani masa yang panjang menuju Tuhan. Orang bertawakkalakan merasa tenteram
dengan janjiNya, merasa cukup dengan pemberian dan pengetahuan yang diberikan
kepadanya dan dia juga akan merasa puas dengan kebijaksanaanNya.
5.
Ridha
Ridha adalah
puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses
‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan
yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada usahanya yang maksima dalam
pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga
memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman yang
bermaksud:
“Allah redha
terhadap mereka dan mereka pun redha terhadapnya.“Tidak ada balasan kebaikan
kebaikan pula.”
Bagi
al-Ghazali kelebihan ridha Allah SWT merupakan manifestasi daripada keridoan
hamba. Ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung
kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar sentiasa dekat
dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang sufi tidak
merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.Ridha pada prinsipnya
adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja
membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang
fana’ ini. Ibn Khatib mengatakan: “ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan
(takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah
Ta’ala.”
Ketenangan
hati seorang sufi yang berada dalam ridha membuahkan hasil keraguan, spekulasi
diri dalam fantasi dan menerima takdir sebagai ketentuan Tuhan. Dan yang
terpenting daripada ridha adalah tidak mengharapkan syurga dan tidak pula
berlindung kepada Allah Ta’ala daripada seksa neraka. Allah menghuraikan
tentang tentang ridha ini yang bermaksud:
{ يٰأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ
ٱلْمُطْمَئِنَّةُ } * { ٱرْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً } * { فَٱدْخُلِي
فِي عِبَادِي وَٱدْخُلِي جَنَّتِي }
“Hai jiwa yang
tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diredhaiNya. Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”
Ada tiga derajat ridha
i. Ridha secara
umum, yaitu ridha kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada
selainNya. Ridha kepada Allah sebagai Rabb ertinya tidak mengambil penolong
selain Allah yang diserahkan kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi
tumpuan keperluannya;
ii. Ridha
terhadap Allah. Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha
terhadap Allah meliputi ridha terhadap qadha dan qadarNya yang merupakan
perjalanan orang-orang khawwas;
iii. Ridha
dengan ridha Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk ridha atau marah lalu
mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia tidak
mahu melakukannya sekalipun akan diceburkan ke dalam nyalaan api.
Seorang
sufi yang membina dirinya dengan keridoan kepada Rabbnya mencapai kemanisan
iman. Dia akan merasakan bahawa Tuhan dengan asma’ dan sifatNya, sentiasa
memberikan makna bererti dalam berperilaku dan beramal. Setidak-tidaknya ada
beberapa hal penting dalam membina keridhaan ke dalam diri yaitu:
i. Seorang sufi
akan berada pada sisi hamba yang pasrah, ia akan menerima kepasrahan dengan
kesempurnaan hikmah, rahmat dan kurnia;
ii. Terjadinya
sesuatu adalah berdasarkan kehendak Tuhan semata-mata;
iii. Seorang
sufi adalah seorang hamba yang menerima keputusan Tuhannya dengan keridoan;
iv. Seorang
sufi adalah seorang yang mencintai, ia berbuat apa saja untuk Kekasih yang
dicintainya;
v. Seorang sufi
akan meyakini keridoannya terhadap keputusan Tuhannya dan ini akan memberikan
reaksi positif bagi pengembangan dirinya;
vi. Seorang
sufi merasakan terbukanya pintu-pintu keridoan menuju Tuhan yang kemudiannya
melahirkan kegembiraan dan kenikmatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di masa awal menjalani taswuf, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut
atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian
berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia
dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat
laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang
suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada
hamba-Nya.
Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa
cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan
bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion
mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah
sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada
Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh
diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya,
kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,Harun Falsafat dan Mistisime dalam Islam. Pustaka
Bulan Bintang Jakarta1993.
Al-Qusyairy al-Naisaburi, Imam Risalah Qusyairiyyah, (terj.)
Lukman Hakim, Risalah Gusti, Surabaya1999.
Jauziyyah, al-Qayyim al-Madarij al-Salikin Bain Manazil Iyyaka Na`bud
wa Iyy Nasta`in, (terj.) Kathur Sukardi Pustaka Al-Kautsar, Jakarta1998.
Al-Halabi, Qasim al-Sayr wa al-Suluk Ila Malik al-Muluk,
Jakarta, Naskah Perpustakaan Nasional Musium Pusat, No.CCCTX IV.
Jaya, Yahya Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan
Keperibadian dan Kesihatan
Mental, Pustaka Ruhama.
Jakarta1994.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam. Pustaka
Bulan Bintang Jakarta1993, h. 2.
Imam al-Qusyairy al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah,
(terj.) Lukman Hakim, Risalah Gusti, Surabaya1999:, h. 23.
al-Qayyim al- Jauziyyah, Madarij al-Salikin Bain Manazil Iyyaka
Na`bud wa Iyyak Nasta`in, (terj.) Kathur Sukardi Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta1998:, h. 97.
Qasim al-Halabi, al-Sayr wa al-Suluk Ila Malik al-Muluk,
Jakarta, Naskah Perpustakaan Nasional Musium Pusat, No.CCCTX IV, h.88.
Yahya Jaya, Spiritualisasi
Islam Dalam Menumbuhkembangkan Keperibadian dan Kesihatan Mental, Pustaka Ruhama. Jakarta1994, h. 169.