PERKEMBANGAN JIWA BERAGAMA MANUSIA
Perkembangan
(development) adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat
proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan dapat juga diartikan sebagai
perubahan- perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat
kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara
sistematis (saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-
bagian organisme dan merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat
maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif) dan
berkesinambungan.
Didalam buku
Netty Hertati, dkk yang berjudul Islam Dan Psikologi Menjelaskan adanya
3 teori pendekatan yang dilakukan untuk lebih memahami berbagai hal mengenai perkembangan,
yaitu:
1.
Pendekatan perkembangan kognitif,
yang mempunyai asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang sangat
fundamental yang membimbing tingkah laku individu. Dalam pendekatan ini ada
tida buah model, yaitu:
v Model
kognitif piaget, dengan asumsi bahwa perkembangan manusia dapat digambarkan
dalam konsep fungsi dan struktur. Konsep fungsi merupakan mekanisme biologis
bawaan yang sama bagi setiap orang untuk mengorganisasikan pengetahuan kedalam
struktur koginisi, supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan. Sedangkan konsep
struktur adalah interelasi system pengetahuan yang mendasari dan membimbing
tingkah laku intelijen.
v Model
pemrosesan informasi, yang merumuskan bahwa kognitif manusia sebagai suatu
system, terdiri dari input berupa rangsangan yang masuk dalam reseptor.
v Model
kognisi social, yang menekankan pengaruh pengalaman social terhadap
perkembangan kognitif.
2. Pendekatan belajar
atau lingkungan, yakni tingkah laku individu diperoleh melalui pengkondisian
dan prinsip- prinsip belajar.
3. Pendekatan
etologi, yang merupakan studi perkembangan dari perspektif evolusioner yang
didasarkan pada prinsip- prinsip yang
diajukan oleh Carles Darwin, yang merujuk kepada asal- usul biologis tentang
tingkah laku social.
4.
Pendekatan Imam Ghazali, dengan pendapatnya
bahwa individu dilahirkan dengan membawa fitrah yang sehat dan seimbang, yang
selanjutnya kedua orang tua dan lingkungan yang memberikan pendidikan.
Sumber jiwa agama
Menurut para
ahli dapat digolongkan kepada 2 golongan yaitu:
1.
Teori monistik, yakni sumber jiwa
beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan.
Para ahli yang masuk dalam teori ini
diantaranya yaitu:
a. Thomas van
Aquino, beliau mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah
berfikir.
b. Frederick
Scheilmacher, menyatakan bahwa sumber jiwa agama berasal dari rasa
ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak ( sense of defend).
2.
Teori fakulty, menurut teori ini
sumber jiwa agama tidak timbul dari satu factor saja, tetapi berasal dari
berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling berpengaruh adalah cipta ( reason),
rasa ( emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a. Zakiyah
Drajat, mengemukakan bahwa selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki
kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan
kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan melalui
agama.
b. W.H. Thomas,
ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan
untuk selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman,
kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.
Sumber jiwa
agama menurut islam dapat ditemukan dalam surat Ar- Ruum ayat: 30 yang artinyai:
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, Tetaplah atas
fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang
lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar- Rum:30).
Ayat
tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama.
Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha
Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang tidak mengakui adanya
Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan lisan. Secara hakiki ia tetap
meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang tidak mungkin dilampaui dan
memiliki kekuatan Yang Maha.
Dalam
manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini
tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama.
Menurut
Quraish Sihab sumber jiwa agama seseorang bersumber dari penemuan rasa
kebenaran, keindahan, kebaikan.
faktor-
faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan sikap keagamaan
Adapun
faktor- faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan yaitu:
1. Faktor internal Hereditas.
Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصره او يمجسانه”
“Tiap-tiap
anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, maka ibu bapaknya-lah yang mendidiknya
menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani dan majusi”.
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah
(potensi beragama), hanya faktor lingkungan (orang tua) yang mempengaruhi
perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan anak berkaitan
erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua, termasuk
keturunan beragama.
2. Faktor Ekstern.
Potensi yang dimiliki manusia secara umum disebut
fitrah beragama atau hereditas. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh
dari luar diri manusia, pengaruh tersebut berupa pemberian pendidikan
(bimbingan, pengajaran, dan latihan).
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap perkembangan
jiwa keagamaan adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga,
sekolah dan masyarakat.
Erikson
mengetengahkan delapan tahap dalam perkembangan kepribadian. Hasil perkembangan
suatu tahap ketahap berikutnya tidak linear, atau dengan kata lain selalu ada
kemungkinan terjadi perubahan yang berlawanan dari satu tahap ketahap
berikutnya. Dengan demikian hasil perkembangan yang buruk pada satu tahap akan
menghasilkan perkembangan yang normal bila pada tahap berikutnya dilakukan
upaya- upaya perkembangan yang normal, atau sebaliknya perkembangan yang normal
disatu tahap dapat berubah menjadi perkembangan yang tidak normal bila upaya-
upaya yang mendukung perkembangan itu tidak dilakukan.
Selanjutnya Erikson menyatakan ada
delapan elemen yang membangun ritualiatas keagamaan seseorang, yaitu:
1. Keterpesonaan,
yakni perasaan terpesona dengan yang Maha Suci.
2. Kebijaksanaan,
yakni kemampuan untuk membedakan kebenaran dan kesalahan. Selain dari
bentuk/ formasi kebenaran, yang paling
penting dalam penanaman kebenaran ini adalah penginternalisasian semangat (ruh)
kebenaran itu sendiri.
3. Dramatis,
yakni sama dengan sisi kehidupan manusia lainnya. Dalam hal ini seseorang dapat
menjadi lebih agamis atau menjadi tidak agamis saat ia baru saja mengalami
kehidupan yang dramatis dalam kehidupannya.
4.
Formalitas, yakni aspek- aspek formal inheren
dalam setiap peribadatan yang harus dilakukan.
5.
Ideology, yakni pada saat aktifitas
keagamaan dilakukan hanya karena ingin menyatu dengan orang- orang dewasa namun
lambat laun saat mencapai usian remaja, aktifitas itu didorong oleh ideology
yang terkandung didalam agama.
6.
Afiliasi, yang terjadi saat usia
dewasa seiring dengan kualitas ego dari intimasi yang diekspresikan melalui
persahabatan, cinta dan kerja.
7.
Panutan generasi, yang muncul pada
orang dewasa karena berkeinginan untuk menjadi teladan bagi generasi berikutnya
dalam hidup beragama.
8.
Kebulatan tekad, yang disebabkan
karena ajaran agama telah diterima secara pilosofis yang melahirkan kebulatan
tekad untuk membangun integritas pada ajaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar