Rabu, 20 Maret 2013

perkembangan jiwa beragama pada anak. psikologi pendidikan



PERKEMBANGAN JIWA BERAGAMA MANUSIA

Perkembangan (development) adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan- perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis (saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian- bagian organisme dan merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif) dan berkesinambungan.
Didalam buku Netty Hertati, dkk yang berjudul Islam Dan Psikologi Menjelaskan adanya 3 teori pendekatan yang dilakukan untuk lebih memahami berbagai hal mengenai perkembangan, yaitu:
1.      Pendekatan perkembangan kognitif, yang mempunyai asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang sangat fundamental yang membimbing tingkah laku individu. Dalam pendekatan ini ada tida buah model, yaitu:
v  Model kognitif piaget, dengan asumsi bahwa perkembangan manusia dapat digambarkan dalam konsep fungsi dan struktur. Konsep fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama bagi setiap orang untuk mengorganisasikan pengetahuan kedalam struktur koginisi, supaya dapat beradaptasi dengan lingkungan. Sedangkan konsep struktur adalah interelasi system pengetahuan yang mendasari dan membimbing tingkah laku intelijen.
v  Model pemrosesan informasi, yang merumuskan bahwa kognitif manusia sebagai suatu system, terdiri dari input berupa rangsangan yang masuk dalam reseptor.
v  Model kognisi social, yang menekankan pengaruh pengalaman social terhadap perkembangan kognitif.
2.      Pendekatan belajar atau lingkungan, yakni tingkah laku individu diperoleh melalui pengkondisian dan prinsip- prinsip belajar.
3.      Pendekatan etologi, yang merupakan studi perkembangan dari perspektif evolusioner yang didasarkan pada  prinsip- prinsip yang diajukan oleh Carles Darwin, yang merujuk kepada asal- usul biologis tentang tingkah laku social.
4.      Pendekatan Imam Ghazali, dengan pendapatnya bahwa individu dilahirkan dengan membawa fitrah yang sehat dan seimbang, yang selanjutnya kedua orang tua dan lingkungan yang memberikan pendidikan.
 Sumber jiwa agama
Menurut para ahli dapat digolongkan kepada 2 golongan yaitu:
1.      Teori monistik, yakni sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan.
Para ahli yang masuk dalam teori ini diantaranya yaitu:
a.       Thomas van Aquino, beliau mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah berfikir.
b.      Frederick Scheilmacher, menyatakan bahwa sumber jiwa agama berasal dari rasa ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak ( sense of defend).
2.      Teori fakulty, menurut teori ini sumber jiwa agama tidak timbul dari satu factor saja, tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling berpengaruh adalah cipta ( reason), rasa ( emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a.       Zakiyah Drajat, mengemukakan bahwa selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan melalui agama.
b.      W.H. Thomas, ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan untuk selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman, kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.

Sumber jiwa agama menurut islam dapat ditemukan dalam surat Ar- Ruum ayat: 30 yang artinyai: “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, Tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar- Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan lisan. Secara hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang tidak mungkin dilampaui dan memiliki kekuatan Yang Maha.
Dalam manusia juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama.
Menurut Quraish Sihab sumber jiwa agama seseorang bersumber dari penemuan rasa kebenaran, keindahan, kebaikan.
faktor- faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan sikap keagamaan
            Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan yaitu:
1.      Faktor internal Hereditas.
 Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصره او يمجسانه
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, maka ibu bapaknya-lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani dan majusi”.
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah (potensi beragama), hanya faktor lingkungan (orang tua) yang mempengaruhi perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan anak berkaitan erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua, termasuk keturunan beragama.
2.      Faktor Ekstern.
Potensi yang dimiliki manusia secara umum disebut fitrah beragama atau hereditas. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh dari luar diri manusia, pengaruh tersebut berupa pemberian pendidikan (bimbingan, pengajaran, dan latihan).
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Erikson mengetengahkan delapan tahap dalam perkembangan kepribadian. Hasil perkembangan suatu tahap ketahap berikutnya tidak linear, atau dengan kata lain selalu ada kemungkinan terjadi perubahan yang berlawanan dari satu tahap ketahap berikutnya. Dengan demikian hasil perkembangan yang buruk pada satu tahap akan menghasilkan perkembangan yang normal bila pada tahap berikutnya dilakukan upaya- upaya perkembangan yang normal, atau sebaliknya perkembangan yang normal disatu tahap dapat  berubah menjadi  perkembangan yang tidak normal bila upaya- upaya yang mendukung perkembangan itu tidak dilakukan.
           Selanjutnya Erikson menyatakan ada delapan elemen yang membangun ritualiatas keagamaan seseorang, yaitu:
1.      Keterpesonaan, yakni perasaan terpesona dengan yang Maha Suci.
2.      Kebijaksanaan, yakni kemampuan untuk membedakan kebenaran dan kesalahan. Selain dari bentuk/  formasi kebenaran, yang paling penting dalam penanaman kebenaran ini adalah penginternalisasian semangat (ruh) kebenaran itu sendiri.
3.      Dramatis, yakni sama dengan sisi kehidupan manusia lainnya. Dalam hal ini seseorang dapat menjadi lebih agamis atau menjadi tidak agamis saat ia baru saja mengalami kehidupan yang dramatis dalam kehidupannya.
4.       Formalitas, yakni aspek- aspek formal inheren dalam setiap peribadatan yang harus dilakukan.
5.      Ideology, yakni pada saat aktifitas keagamaan dilakukan hanya karena ingin menyatu dengan orang- orang dewasa namun lambat laun saat mencapai usian remaja, aktifitas itu didorong oleh ideology yang terkandung didalam agama.
6.      Afiliasi, yang terjadi saat usia dewasa seiring dengan kualitas ego dari intimasi yang diekspresikan melalui persahabatan, cinta dan kerja.
7.      Panutan generasi, yang muncul pada orang dewasa karena berkeinginan untuk menjadi teladan bagi generasi berikutnya dalam hidup beragama.
8.      Kebulatan tekad, yang disebabkan karena ajaran agama telah diterima secara pilosofis yang melahirkan kebulatan tekad untuk membangun integritas pada ajaran agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar